as clear as discrete cosine transform

PAU – 0

Institut Teknologi Bandung, rumah dari beberapa karya dan temuan besar terkemuka yang dikenal di seluruh pelosok negeri. Dengan kampus utamanya yang berada di Ganesha, ITB menjadi rumah dari lebih dari 25 ribu mahasiswa yang pontang-panting belajar dan berjuang untuk lulus. Terdapat banyak gedung di kampus ini, di mana setiap gedung memiliki spesialisasinya masing-masing. Sebut saja gedung Labtek V yang dihuni oleh mayoritas mahasiswa dari jurusan Teknik Informatika, ataupun gedung CAS yang menjadi salah satu tujuan perjalanan mahasiswa matematika.

Beragam gedung yang ada memiliki kisahnya masing-masing. Namun terdapat satu gedung yang melegenda akibat mitos yang akan memberimu Indeks Prestasi bernilai 4 apabila berhasil memenuhi syarat-syaratnya. Syarat yang terdengar cukup menyeramkan bagi kebanyakan orang, mungkin karena gedungnya juga membawa aura yang demikian.

Gedung PAU, atau secara resmi disebut gedung riset dan pengembangan. Masih tidak ada yang tau asal-muasal dari singkatan “PAU” ataupun kepanjangannya, namun gedung ini tentu membawa suasana yang cukup angker.

Tingginya mencapai belasan lantai, dengan akses terbuka sampai ke atapnya. Adalah tempat dengan pemandangan yang menakjubkan, karena nyaris seluruh bagian dari ITB bisa anda lihat dari ketinggian ini. Namun mungkin karena akses ini juga legenda ini terlahir.

Legenda mengatakan bahwa apabila anda berhasil melihat penampakan arwah yang sedang loncat dari puncak gedung PAU, maka anda niscaya akan memperoleh IP 4. Adalah hal yang aneh, seram, namun menggiurkan. Para mahasiswa yang sudah cenderung berpikir kritis tentu saja hanya akan menganggap ini sebagai legenda dan mitos belaka, namun tidak sedikit yang terpercik dan penasaran untuk melihat penampakan tersebut dengan mata kepala mereka sendiri.

Dan itu termasuk aku.

Aku hanyalah seorang mahasiswa biasa yang ingin ada hal-hal menarik terjadi pada kehidupan perkuliahanku. Sebut saja Awan.

Ke-chaos-an yang telah diberikan oleh ITB memberiku tekanan mental yang tidak bisa disandingkan, namun lambat laun ini mulai menjadi suatu drill rutin setiap bulannya.

Awalnya menyiksa, lalu lambat laun aku mulai letih, dan sekarang aku merasa tidak ada adrenalin yang muncul kembali, kecuali aku berkelompok dengan beberapa makhluk inkompeten.

Aku tidak bisa mendapatkan adrenalin yang aku butuh dari dinamika perkuliahan. Mengikuti kegiatan UKM-UKM yang ada pun rasanya sudah mulai membosankan. Rasanya semua genre UKM tersebut mulai menjadi slow life. Sesuatu yang harusnya berada pada perkuliahan itu sendiri, tapi apa daya ini ITB.

Aku terdengar sangat tidak antusias dan tidak tertarik dengan semua ini, karena itulah yang terjadi. Kehidupan sehari-hariku sudah mulai menjadi sangat hambar, rasanya tidak ada bedanya lagi dengan kuliah-pulang kuliah-pulang. Tentu saja aku akan menyelesaikan perkuliahanku, tapi tidak ada kenangan spesial yang sepertinya akan aku ingat semasa perkuliahan ini.

Yah, mau bagaimana lagi coba… ini itu tempat belajar, bukan tempat hiburan.

Tetap saja, aku tetap perlu stimulus baru untuk tetap menjaga semangat ini.


Aku sempat terlibat percakapan antar teman-temanku di kantin mengenai hal-hal menarik di kampus ini. Ada banyak hal yang berbau mistis, seperti bau harum di dekat kolam fakultas mesin, penjual bakso di jendela lantai 3 labtek VIII, dan yang menarik perhatianku adalah legenda arwah bunuh diri di gedung PAU.

Aku tidak tahu, tapi aku merasa kasihan dengan siapapun itu. Aku tahu kalau ITB cukup berat sehingga angka bunuh dirinya relatif tinggi. Pasti tekanan dan tuntutan begitu berat yang tidak bisa disandingkan dengan kemampuan diri yang menjadi pendorong terjadinya hal tersebut.

Tapi itu hanyalah legenda. Sejauh yang aku bisa, aku hanya bisa memberi simpati apabila cerita tersebut memang benar.

“Kalau kamu bisa lihat penampakannya, IPmu bakal auto 4 lho”

“Njir, mau. Tapi emang itu bisa liatnya kapan aja?”

“Ga tau sih. Paling efektif mungkin pas petang, katanya banyak setan berkeliaran pas dekat maghrib kan. Coba aja pantengin daerah sono kalau pengen nyoba”

“Gimana, Wan? Gas ga?”

Temanku ini namanya Hans. Orangnya penasaran ampun-ampun. Imba juga. Tapi sangat enak diajak ngobrol dan diskusi. Tertarik juga dengan hal-hal meta dan non-saintifik.

Mendengar cerita tersebut, awalnya timbul simpati, namun setelah diberi informasi lebih lanjut, aku juga ikutan penasaran.

“Euh… Mager cuy… jam segitu pula, udah gerah mau balik pengen mandi.”

Halah, dasar tsundere. Kenapa jadi jujur rasanya susah banget ya?

“Ga apalah, biar pas balik bisa singgah makan nasi uduk. Jam segitu juga bukanya kan?”

“Bener sih… Okay bro, you got me.”

Diskusi kami tidak berlangsung terlalu lama karena setelahnya ada kelas lagi, kami bergegas menyelesaikan santapan kami dan kembali ke kelas.

Mungkin ini akan menjadi sumber adrenalin baru bagiku.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *